Dekadensi Pendidikan Karena 300 Rubu Rupia
|
Dekadensi Pendidikan Karena 300 Rubu Rupia
Oleh:
Muzairoh (1334411011)
Pendidikan
merupak suatu proses yang di dalamnya terdapa mengajar, melatih dan mendidik. Pendidikan mejandi suatu hal yang sangat
diutamakan di era modern ini karena dapat menjadi penentu tunas-tunas bangsa
yang bangus dan mampu menjadikan negara sebagai pioner bagi negara lain.
Dalam menciptakan generasi yang multi taskig
atau seperti yang telah disebutkan di atas maka diperlukan juga seorang
pendidik yang profesional. Pendidik yang profesional adalah seseorang yang
mampu merubah suasana dan keadaan supaya menjadi lebih baik, terlebih suasana
dalam berfikir seseorang (Siswa). Pendidik yang profesional tidak tergiur oleh
gaji yang banyak. Namun pendidik yang sedemikian itu sudah sangat jarang sekali
kita jumpai pada masa sekarang ini, semuanya telah termotivasi oleh uang (gaji)
yang banyak atau nomina yang besar.
Seorang
dosen di STKIP PGRI Bangkalan pernah mengatakan “ Nak kalau kamu mau mencari uang maka janganlah kamu menjadi guru
karena guru bukan tempat mencari uang, tapi kalau kamu mau mencari uang yang
banyak maka jadialah kamu seorang pengusaha karena disanalah kau akan
mendapatkan uang yang banyak”. Hal itu nampak sekali bahwa pada masa
sekrang ini seorang pendidik hanyalah sebagai gelar yang disandang tanpa
merubah keadaan dan hal itu disebabkan karena gaji seorang guru atau pendidik
hanya 300 ribu rupiah, hal yang tidak sebanding jika dihadapkan pada keadaan sekarang
yang semuanya serba mahal dan serba berbau uang dan akibat itu pula maka
kualitas pendidikan di negara indonesia ini semakin merosot.
Pertanyaan saya, Kenapa pendidikan di
Indonesia ini semakin merosot? Apakah seorang guru sudah enggan dan bosan dengan
perlakuan pemerintah yang seolah-olah tidak mau perduli terhadap seorang guru? Tentu
saja kita sebagai pemuda dan penerima warisan atas sebuah bangsa harus faham
terhadap gejolak itu, apalagi generasi yang berada di desa terpencil, karena
biasanya hal-hal yang sering tertinggal dan tidak diperdulikan itu pendidikan
yang ada di desa.
Perlakuan terhadap guru yang berada di pelosok
sungguh sangat terdiskriminasi oleh pemerintah terlebih lagi guru honorer yang
setiap bulannya hanya menerima gaji sebesar 300 ribu rupiah, sedangkan guru PN
gajinya lebih tinggi dari guru honorer, padahal guru honorer perannya lebih aktif
dibandingkan dengan guru yang sudah diangkat menjadi Pegawa Negeri Sipil (PNS).
Sungguh hal itu perlu di kaji ulang oleh pemerintah pusat supaya tidak menjadi
bumerang bagi negara ini. Mengapa saya mengatakan sebagai bumerang bagi negara?
Ya, kerena kebanyakan dari seorang guru sudah memilih pekerjaan lain yang lebih banyak mendapatkan nominal
dan lebih memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak sedikit pula seorang guru mengejar
gelar PN karena menjadi Pegawa Negeri dianggap kerjanya tidak terlalu berat
dibandingkan dengan guru honorer dan hasil nominal yang didapatnya pun lebih
banyak.
Ambisi
menjadi Pegawai Negeri tidak sedikit dan tidak banyak orang-orang menggunakan
segala cara dan perbuatan yang paling lumrah dan terpopuler untuk menjadi
Pegawai Negeri ialah dengan cara menyogok. Sesuatu yang didapat dari hal buruk
ataupun jalan yang tidak jujur maka hasilnya pun tidak akan jujur dan tidak
akan maksimal dalam mengajar dan mendidik sebagaimana mestinya seorang guru
yang profesional. Yang dimaksud tidak jujur dan tidak maksimal dalam hal ini
ialah seorang guru yang hanya sekedar datang kesekolahan untuk memenuhi absen
saja tanpa mengajar dan medidik yang baik. Hali itu disebabkan oleh suatu gelar
yang disebut Pegawai Negeri (PN).
Bagaimana mungkin negara Indonesia ini akan
mampu menghasilkan generasi-generasi yang intelektual, kreatip, disiplin,
terampil dan jujur? jika kualitas pendidik dan pengajarnya saja lebih
mementingkan materi dibandingkan hasil yang maksimal. Akibat dari hal tersebut
ialah kualitas pendidikan yang sudah semakin menurun. Hali itu berbanding
terbalik dengan Rok Mini yang sering
digunakan oleh perempuan-perempuan yang sering nongkrong di dalam sebuah Cafe’ yaitu semakin tinggi, namun kualitas
pendidikan di negara ini semakin menurun, hal yang sangat memprihatin sekali.
Terlalu
murah dan lemah sekali pendidikan di negara Indonesia ini jika pendidikan harus
menurun hanya karena 300 ribu rupiah. Hal ini tidak terlepas pula dari tanggung
jawab pemerintahan baik pemerintah daerah, kota maupun pemerintah pusat sebagai
peninjau dan penimbang terhadap kualitas pendidikan jika kualitas pendidikan semakin menurun
karena 300 ribu rupiah, lalu mengapa pemerintah hanya diam saja seperti katak
dalam tempurung. Suaranya hanya keras di tempat namun tak bisa didengar ke
tempat-tempat yang kecil yang sulit dijangkau.
Masalah
lain, selain daripada materi juga kualitas gedung dan sarana-prasarana yang
kurang mendukung. Di perkotaan mungkin bangunannya sangat bagus dan sarana
prasananya juga bagus, karena berada di depan mata pemerintah, sehingga hal itu
yang menjadi patokan bagi pemerintah bahwa semua gedung sekolahan itu bagus dan
mendukung untuk proses belajar mengajar padahal kenyataannya sangat berbalik
dari persepsi itu.
Sangat
ironi sekali jika kita melihat gedung sekolahan yang berada di pedesaan apalagi
desa terpencil yang jauh dari jalan raya, kandang sapi saja lebih layak di
tempati di bandingkan dengan gedung dekolahan yang ada di desa terpencil itu,
padahal kalau kita tinjau ke tempat itu banyak sekali anak-anak yang berpotensi
untuk menjadi tunas bagi bangsa ini, namun apa boleh dikata yang penting rumput
dihalaman sendiri hijau tidak perduli rumput di jauh sana. Namun hal itu tidak
terlalu berpengaruh selama gedung itu tidak rusak semuanya, tapi seorang guru
yang hanya pura-pura mengajar dan mendidik akan sangat berpengaruh terhadap
pola fikir siswa.
Begitulah
keadaan pendidikan sekarang ini, berjalan namun tetap di tempat, hal itu
disebabkan karena pemerintah tidak begitu perduli terhadap guru.